PERTEMUAN RAKERNAS APTARI 2008
Geding Engineering Centre Lt 2
Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta
15 Januari 2009, Pukul 10.00-16.00 WIB

1. Pembukaan oleh Ketua APTARI (Bambang Soemardiono)

capan terimakasih atas kehadiran Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang datang dari jauh pada acara Rakernas APTARI yang dilaksanakan pada awal tahun 2009. Dan mempersilahkan Dekan Fakultas Teknik Prof. Dr. Bambang Sugiarto M., Eng untuk memberikan sambutan pembukaan Rakernas APTARI.

2. Sambutan Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Prof. Dr. Bambang Sugiarto M., Eng

Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua

Atas nama Fakultas Teknik Universitas Indonesia , kami mengucapkan selamat datang pada Bapak dan Ibu pada acara Rakernas APTARI 2008-2009, saya tahu APTARI adalah Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia, yang pada acara Rakernas ini akan membahas Evaluasi program, MRA dan Undang-Undang. Namanya juga Rakernas saya harapkan ada point-point, dan juga saya ada pesan bahwa Universitas Indonesia sekarang ini sedang dalam perubahan, sebelum kita menyentuh, bahwa kita akan memasuki era BHP (Badan Hukum Pendidikan), kami juga di UI & di fakultas teknik UI juga dalam masa-masa perubahan paradigma. Kita menyebutnya dengan adanya 3 pilar utama. Universitas Indonesia itu tadinya seperti Universitas tapi di dalamnya ada fakultas-fakultas (multi fakultas, kumpulan fakultas-fakultas), maka keluarlah bahwa UI mempunyai 3 pilar utama yaitu:

  1. Intergrasi: yang meliputi mulai dari, kita tahu bahwa ilmu itu sulit untuk dikotak-kotakkan, kita tahu bahwa sarana prasarana harus ada sharing facilities, dan seterusnya, jadi kita lagi menuju ke UI yang terintergrasi. Ada banyak hal disini, juga termasuk kurikulum, termasuk pengelolaan keuangan dan seterusnya. Karena menghadapi setelah menuju era BHMN menuju BHP kita harus siap dengan segala macam dengan hal-hal yang menuntut akuntanbilitas tinggi.
  2. UI mencanangkan: Fakultas Teknik juga, sebagai bagian dari universitas, kita mencanangkan apa yang disebut dengan excelent (unggul). Kita menuju UI dan fakultas teknik yang unggul. Sudah banyak parameter-parameter yang disebut keunggulan, pusat-pusat keunggulan itu apa, state of excelent itu apa, saya ingin sampaikan salah satu dari state of excelent ini menyangkut juga ada di ranah teman-teman arsitektur, ada indigenoauscallis (?) masalah urban dan seterusnya, itu sangat terkait. Kita mengharapkan 6 topik utama di Universitas Indonesia dan seterusnya, tapi juga ada bahasa kitanya kearifan lokal, bentuk-bentuk arsitektur dan seterusnya yang bisa dikaitkan dengan cabang ilmu dari Bapak dan Ibu sekalian.
  3. RTUI dan UI ingin menjadi UI Enterprise; Segala macam pengelolaan disini mengikuti paradigma pengelolaan enterprises, dimana parameter-parameter yang terukurnya juga sudah ditetapkan, baik untuk level universitas maupun fakultas ataupun di departemen.

Pertanyaannya sekarang adalah, kalau kita ingin menuju excelent tadi, suka ataupun tidak suka pasti akan bersinggungan dengan asosiasi, akreditasi internasional dan seterusnya. Recognition, kita memerlukan recognition, suka ataupun tidak suka kita terlihat juga di webmatriks. Jadi itu bukan jadi tujuan, tapi kita menjadikan sebuah rambu-rambu kita untuk memagari kita agar kita sampai dengan bangga, kita bisa lihat parameter – parameter yang ada untuk international recognition. Kami baru saja selesai mengakreditasi 2 program studi di fakultas teknik dengan, satu departement sudah ber-ISO. Saya harapkan saya lihat disini juga ini menjadi suatu agenda juga . Saya harapkan dari Rakernas ini akan mengeluarkan pemikiran – pemikiran yang harus dapat diimplementasikan, yang lebih terarah, kongkrit, jelas tahapannya, terukur pencapaiannya. Agar nanti di tahun depan kalau kita bertemu lagi entah di tempat yang lain kita bisa mengukur kinerja – kinerja kita saling berbagi pengalaman, bagaimana kami disini ataupun di perguruan tinggi lain mendapatkan sebuah achievement. Saya harapkan ini menjadikan pembelajaran bagi kita semua. Sekali lagi selamat menjalankan Rakernas. Mungkin ada Bapak atau Ibu yang baru pertama kali datang ke Fakultas Teknik UI yang cukup jauh. Sekali lagi fakultas teknik ini merupakan pionir pindah ke Depok dan wajah UI ini Alhamdulillah adalah wajah arsitekturnya Universitas Indonesia, dan ada beberapa tokohnya disini yaitu Prof. Gunawan, Prof. Gotty. Baik, sekali lagi selamat ber-Raker, Insya ALLAH Raker ini banyak menghasilkan hal-hal yang positif untuk kita semua, saya akhiri dengan ucapan

BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM, Wasallamu’alaikum Wr. Wb.

3. Sambutan Ketua IAI Nasional, Bapak Endy Subijono, IAI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Selamat pagi Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak sekalian

Terimakasih telah diundang untuk menghadiri Rakernas APTARI, saya kira ini penghormatan bagi Ikatan Arsitek Indonesia untuk bisa ikut meramaikan, paling tidak pada awal-awal acara Rakernas APTARI pada hari ini. Seperti Ibu dan Bapak ketahui posisi Ikatan Arsitek Indonesia dalam konteks kerja sama ini tentu mewakili masyarakat praktisi yang kemudian memberikan pandangan, memberikan masukan, kemudian juga ajakan bagi perguruan tinggi untuk melakukan kerjasama-kerjasama karena harus kita sadari bersama bahwa apa yang terjadi di dunia perguruan tinggi dan apa yang terjadi di dunia praktek itu saling mempengaruhi. Jadi saya kira ini adalah salah satu cara yang sangat baik agar ke depannya kerjasama kita ke depannya akan menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Tadi sudah disinggung memang kepengurusan Ikatan Arsitek Indonesia ini sangat baru, MUNAS nya baru berakhir pada akhir November tahun lalu di Makassar, kemudian saya mempunyai waktu 30 hari untuk membentuk susunan kepengurusan yang lengkap, kemudian baru akhir Desember kami mempunyai susunan lengkap dan sedang berusaha keras untuk memenuhi permintaan atau tuntutan-tuntutan anggota. Salah satunya adalah membuat usaha untuk memenuhi tujuan Ikatan Arsitek Indonesia sejak didirikan 50 tahun yang lalu, tahun ini kita berulang tahun yang ke-50, 17 September nanti. Tujuannya adalah mencapai kondisi praktik arsitektur yang sehat, apa yang dicanangkan oleh senior-senior kita ternyata 50 tahun kemudian masih relevan. Dan apa yang sedang akan kita lakukan adalah membuat strategi dan rencana jangka panjang bagaimana kita bisa mencapai tujuan itu. Sebagai bagian yang sangat strategis dalam mencapai tujuan itu, kelihatannya akan dibahas juga pada Rakernas yang akan dilaksanakan Ibu dan Bapak pada hari ini.

  1. Pertama mengenai Pendidikan Profesi Arsitek (PPAr), yang menyiapkan potensi arsitek sebagai pelaku utama di konteks itu. Ini mau tidak mau dipengaruhi oleh pendidikan.
  2. Strategi yang kedua adalah memperjuangkan pengakuan legal formal dari pemerintah, dari negara, dari masyarakat, keberadaan arsitek. Jadi kira-kira sangat relevan untuk dibahas lebih panjang. Sejauh ini Pendidikan Profesi Arsitek (PPAr) banyak sekali mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan dari bebagai perguruan tinggi. Mudah-mudahan Rakernas ini bisa menyepakati arti bagaimana ini bisa dikotakkan dan ini bisa diteruskan. Yang jelas Ikatan Arsitek Indonesia akan tetap ikut pada kesepakatan-kesepakatan asosiasi profesi arsitek di level dunia dan di level regional. Dan ini program Pendidikan Profesi Arsitek (PPAr) sebenarnya adalah salah satu strategi mengikuti kesepakatan itu. Yang kami ketahui secara umum, secara sederhana dapat dikatakan bahwa seseorang dari mahasiswa menjadi seorang arsitek profesional, ukuran waktunya adalah 5 tahun pendidikan perguruan tinggi +2 tahun magang +1 tahun kali ujian profesional. Jadi mengenai 5 tahun yang ada di Indonesia saat ini, saya tidak tahu persis apakah ada yang mempunyai program 5 tahun murni. Setahu saya kita bisa menyepakati bahwa 5 tahun itu kita baca sebagai 4 + 1, atau 4 + 2, atau bahkan 3 + 2, seperti banyak di negara lain. Yang 2 tahun magang nanti kami urus, kami akan bertanggung jawab bagaimana magang itu bisa dilakukan di seluruh Indonesia. Kemudian ujian sertifikasi ini nanti akan kita sepakati bersama bagaimana mengaturnya. Tapi yang jelas akan ada sebuah Board of Architect untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan sertifikasi.

Kemudian yang kedua tadi saya singgung sedikit mengenai Undang-Undang Arsitek, tadi Pak Dekan sudah menyampaikan ada 3 pilar di Universitas Indonesia. Kebetulan kami juga melihat Undang-Undang Arsitek ini dalam konteks tiga pilar, tapi agak berbeda,

  • Pilar pertama adalah pilar-pilar peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana pihak-pihak yang bekerjasama dalam mengerjakan proyek, dalam menyelenggarakan penyediaan barang dan jasa pemerintah. Dan pilar pertama ini sudah diwujudkan ke dalam Undang-Undang jasa konstruksi. Yang isinya pada dasarnya mengatur cara-cara pihak-pihak untuk melakukan kerjasama.
  • Pilar kedua mengatur objek pekerjaanya, bagaimana objek itu disyaratkan. Ini diwujudkan melalui Undang-Undang bangunan gedung.
  • Pilar ketiga yang belum ada yaitu pengaturan hukum yang mengatur pelakunya, yang mengatur subjeknya. ini yang kami lihat menjadi kuat karena Undang-Undang Arsitek sepenuhnya akan fokus pada pengaturan subjeknya yakni arsiteknya. Dengan demikian 3 pilar ini akan menjadi utuh menjadi lengkap, yang mengatur pihak-pihak yang bekerja sama, yang mengatur objeknya, yang mengatur subjeknya.

Untuk dapat membangun dasar hubungan yang jelas antara dunia profesi dan ranah pendidikan arsitektur, maka kami merasa perlu memohon APTARI agar dapat membantu IAI menjelaskan dan mempertajam beberapa definisi:

1. APA DEFINISI ARSITEK?
Beberapa pihak merasa perlu untuk membedakan dengan jelas apa yang dimaksud “arsitek”, “insinyur”, “pemborong”, “kontraktor”. Sangat sederhana masalahnya. Kita bisa menangkap bagaimana apresiasi masyaraka tentang profesi ini.

2. SIAPA SAJA YANG DAPAT DIGOLONGKAN ATAU DISEBUT SEBAGAI ARSITEK?
Mengapa ada yang disebut “arsitek bangunan”, “arsitek lansekap”, “arsitek interior”, arsitek lapangan golf”? Untuk beberapa kalangan hal ini membingungkan dan dapat berujung pada sebuah keadaan yang fatal.

3. APAKAH BISA DIGAMBARKAN BAGAIMANA JALUR ATAU SKEMA PENDIDIKAN ARSITEK?
Apakah Pendidikan Arsitektur yang akan menghasilkan calon arsitek nantinya akan berbeda secara signifikan dengan skema pendidikan interior, berbeda dengan pendidikan arsitektur lansekap? Apakah berbeda secara signifikan dengan skema pendidikan sipil bangunan?

Jadi 3 pertanyaan ini yang datang pada kami, di Tim Kerja yang dibentuk IAI juga sudah membahas ini. Walaupun sederhana pertanyaannya, belum tentu sederhana jawabannya. Niatnya adalah menemukan sebuah definisi yang tepat dan tidak multi tafsir. Jadi kalau Bapak dan Ibu sekalian disini bisa membantu akan sangat bermanfaat. Saya kira itu, pesan, harapan, barangkali boleh saya sebut permintaan 3 pertanyaan terakhir, mudah-mudahan bisa melengkapi acara Rakernas pada hari ini.

Selamat ber- Rakernas dan Insya ALLAH menghasilkan hal-hal yang sesuai yang direncanakan.

Terimakasih,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

4. Launching WEB APTARI : www.aptari.org

Launching WEB oleh Bapak Ketua APTARI dibantu Sekretaris APTARI Ibu Reni juga dipandu oleh Wakil APTARI Bapak Agus. Disini dijelaskan point-point yang ada di WEB sehingga diharapkan seluruh anggota bisa menggunakan WEB secara maksimal. Diarahkan juga oleh Pak Agus bagaimana anggota APTARI bisa menggunakan mailing list. Selebihnya oleh Bu Reni disarankan bagi anggota APTARI yang akan mengisi WEB bisa langsung dikirimkan ke alamat email Ibu Reni untuk segera di up date. Sangat diharapkan saran dan kritik dari seluruh anggota untuk WEB APTARI agar Web bisa bermanfaat semaksimal mungkin bagi seluruh anggota APTARI.

5. Mutual Recognition Arrangement (MRA) on Architectural Services, Dr. Ir. Suntana, IAI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada APTARI ysng telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan tentang perkembangan terakhir dari satu kesepakatan atau keputusan pemerintah yang telah meratifikasi adanya perjanjian tentang praktek arsitek di lingkungan ASEAN. Tadi sudah disampaikan bahwa saya adalah sebagai anggota working group di bidang arsitek di ASEAN, dimana di working group itu saya mewakili Pemerintah Indonesia dalam perundingan-perundinan di tingkat ASEAN tentang Mutual Recognition Arrangement, jadi topik ini yang akan saya sampaikan. Jadi sebagai pendahuluan saja, pemerintah kita dalam kerangka ASEAN, telah membuat beberapa kesepakatan tentang beberapa bidang. Yang pertama di dalam bidang bisnis. Di dalam bidang bisnis itu termasuk antara lain bidang jasa. Salah satu bidang jasa yang ditetapkan sebagai prioritas antara lain adalah arsitek. Profesi arsitek adalah profesi yang tidak berdiri sendiri, jadi profesi arsitek di lingkup dunia ada beberapa issue :

  1. Arsitek bersifat universal (universal profession)
  2. Regulated profession, arsitek adalah profesi yang diregulasi di tingkat dunia (di Indonesia yang mungkin belum)
  3. International & regional recognition and compatibility, profesi arsitek tidak berdiri sendiri, harus compatible di tingkat internasional atau regional
  4. Profesi arsitek bergabung dalam asosiasi profesi. Asosiasi arsitek juga tidak berdiri sendiri, ada yang di tingkat ASEAN, Asia dan dunia (UIA – Union of International Architects, ARCASIA – Architects Regional Council Asia). IAI khusus dalam bidang arsitek mengikuti semuanya baik di tingkat Asia (ARCASIA), ASEAN (yang disepakati dalam lingkup MRA), maupun di tingkat dunia (UIA).
  5. Langkah berikutnya di dalam profesi arsitek ada yang dinamakan ketetapan standar (Assesment Standar).
  6. Standar Kompetensi Arsitek. Di sini muncul cara pencapaian Competence Standard, standar kompetensi (cara uji dan sebagainya), ada persyaratannya (requirement standard), lalu kemudian setelah ditetapkan sebagai arsitek, tidak langsung ditetapkan seperti itu tapi masih ada Continuous Professional Development (CPD atau PKB – Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan), melanjutkan pendidikan profesi berkelanjutan (bagian persyaratan yang ditetapkan di dunia).
  7. Kemudian untuk masuk ke dalam profesi arsitek, ada yang dikaitkan dengan training and education. Yang berkaitan dengan APTARI adalah ranah education.
  8. Tentunya suatu profesi tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada ethics, jadi disini kita tetapkan bahwa di tingkat dunia dan regional kita terikat pada suatu ethics of profession. Dalam lingkungan IAI kita mengenal Kode Etik Profesi Arsitek.

Semua yang telah disebutkan adalah issuenya dulu, baru kita masuk ke MRA. Apa itu MRA? MRA adalah Mutual Recognition Arrangement on Architectural Services, merupakan kesepakatan bersama mengenai paktik profesi arsitek di negara ASEAN, ada 10 negara yaitu :

  1. Brunei Darussalam
  2. Kamboja
  3. Indonesia
  4. Laos
  5. Malaysia
  6. Myanmar
  7. Philipina
  8. Singapura
  9. Thailand
  10. Vietnam

MRA on Architectural Services ini sudah ditandatangani oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia telah menyepakati dan komitmen tentang profesi arsitek telah masuk ke dalam kesepakatan internasional.
Ada beberapa pengenalan supaya kita tau istilah-istilah internasional :

  • CPC (Central Product Classification)-UN. Satu istilah yang dikeluarkan United Nation, yang mengklasifikasi seluruh produk barang dan jasa. Karena arsitektur termasuk salah satu jasa, maka masuk di dalam ketentuan CPC
  • AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services). Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan agreement didalam services itu di bawah AFAS
  • CCS (Coordinating Committee on Services). Khusus menangani masalah-masalah services antara lain arsitektur
  • MRA (Mutual Recognition Arrangement).ASEAN MRA tujuannya adalah memfasilitasi praktik arsitek lintas negara, basisnya kompetensi dengan standar yang sama / setara. Jadi ada semacam kompabilitas di seluruh kompetensi di tingkat ASEAN. Kemudian lingkup pengaturannya itu adalah tentang layanan jasa arsitek. Peranannya merupakan pengakuan terhadap kemampuan Arsitek dalam melakukan praktik profesi di negara anggota ASEAN. Ijin / Lisensi Kerja dilakukan oleh, dan mengikuti aturan hukum setempat. Jadi maksudnya MRA hanya mengatur tentang kompabilitas, kemudian persyaratan yang diakui sebagai ASEAN Architect, selebihnya akan diatur oleh negaranya masing-masing.

Kemudian kita bicara tentang PROFESSIONAL REGULATORY AUTHORITY (PRA) & MONITORING COMMITTEE (MC). Pada saat menetapkan arrangement ini, masing-masing Negara harus menunjuk institusi yang mempunyai kewenangan mengatur architecture services. Jadi disebutkan sebagai Lembaga / Institusi yang ditunjuk sebagai Regulator ( PRA / Professional Regulatory Authority ) di tiap-tiap negara dan segera membentuk satu badan pelaksana ( MC / Monitoring Committee).

Dalam pelaksanaannya ini nanti masing-masing PRA akan menetapkan Monitoring Committee. Di sini kita lihat bahwa di Indonesia, LPJK yang ditunjuk pemerintah sebagai professional regulatory authority. Kenapa LPJK? Karena LPJK dibentuk berdasarkan Undang-Udang Jasa Konstruksi, di mana salah satu tugasnya adalah melakukan registrasi tenaga profesi.

Sebagai lembaga yang berperan di tingkat Nasional (Indonesia), IAI yang berperan sebagai payung dari tenaga profesi arsitek. Kemudian ada juga institusi yang nanti dibentuk oleh pemerintah yaitu Monitoring Committee (perlu dikoreksi di makalah yang disampaikan, karena di situ tertulis LPJK). Tetapi di saat perundingan terakhir pemerintah, LPJK ditetapkan sebagai PRA. Tetapi karena perundingan ini perundingan internasional yang ditetapkan oleh pemerintah, jadi yang menunjuk, merecomended itu adalah pemerintah. Dalam persiapan pembentukan MC ini, sudah digagas adanya perwakilan, nanti ada perwakilan dari LPJK itu sendiri, kemudian dari asosiasi profesi. Kepada Pemerintah saya telah usulkan adanya perwakilan dari APTARI yang mewakili pendidikan tinggi yang membawahi bidang arsitektur.

Di tingkat ASEAN, dikenal adanya AAC (ASEAN Architect Council) yang merupakan forum perwakilan/gabungan MC-MC dari negara ASEAN. Kemudian ada semacam kewajiban melakukan reporting pada CCS (Coordinating Committee on Services).

Mekanisme berikutnya adalah tentang AAC Secretariate, yang akan dibentuk oleh MC.. Seluruh tugas MC, seluruh tugas AAC, itu semua ada dalam berkas perundingan itu.

Proses untuk menjadi ASEAN Architect dibagi menjadi dua :
1. Menjadi arsitek Indonesia seperti apa?
2. Menjadi arsitek negara ASEAN lain itu seperti apa?

Kita mengenal saat ini, adanya satu ketentuan dari Undang-Undang Jasa Konstruksi tentang sertifikasi tenaga kerja jasa konstruksi. Salah satunya adalah jasa di bidang arsitektur. Jadi proses sertifikasi ada di asosiasi profesi yang terakreditasi mensertifikasi profesi arsitek, yaiktu IAI. IAI kemudian mengeluarkan sertifikat, kemudian diregistrasi di LPJK dan mempunyai status menjadi arsitek professional.

Sekarang di Jakarta ada peraturan tentang ijin tenaga kerja bagi tenaga kerja profesi antara lain: arsitek, dulu dikenal sebagai SIBP Surat Ijin Bekerja Perencana) sekarang dikenal dengan IPTB (Ijin Pelaku Teknis Bangunan), yang menjadi prasyarat bagi arsitek profesional untuk mendapatkan ijin.

Tapi kemudian setelah itu kita kenal dengan adanya ASEAN Architect (AA), adalah salah satu prasyarat yang di perlukan oleh seorang arsitek apabila dia akan melintasi batas wilayah Indonesia, khusus untuk wilayah lingkungan ASEAN. Jadi di sini dia harus mempunyai suatu kompetensi tertentu untuk berpraktek ke negara-negara ASEAN. Jadi ada semacam kesepakatan untuk akses mendapatkan predikat sebagai ASEAN architect. Prosesnya adalah: mengajukan permohonan pada Monitoring Committee (MC). MC nanti akan melakukan registrasi. Jadi MC di masing-masing negara mempunyai otorisasi untuk melakukan sertifikasi, karena kompetensinya sudah standar. Setelah melakukan registrasi pada satu tenaga ini ia akan melaporkan pada AAC. Jadi AAC ini adalah suatu board untuk mengatur normatifnya, tapi untuk masalah-masalah teknis operasional itu dilakukan oleh MC, kemudian dia berstatus sebagai ASEAN Architect.

Bagaimana sekarang kalau menjadi Registered Foreign Architect (RFA) bagi arsitek Indonesia? Jadi ada istilah lain, jadi selain AA yang sifatnya masih lokal, begitu akan bekerja di negara lain di tingkat ASEAN maka untuk masuk ke negara tersebut dia harus terdaftar sebagai arsitek asing di negara yang akan didatangi. Misalkan sudah mendapat AA, pada saat dia masuk Malaysia dia harus daftar kesana . Dia sudah berstatus sebagai ASEAN Architect di Indonesia dia akan mau masuk Malaysia, dia harus daftar di Monitoring Committee-nya Malaysia, baru disana dia terdaftar sebagai Registered Foreign Architect (RFA) di Malaysia. Jadi tidak serta merta karena punya AA terus bisa berpraktek di negara lain tapi harus mendaftar dulu sebagai RFA.

Bagaimana kalau arsitek ASEAN berpraktik di Indonesia? Dia sudah terdaftar sebagai AA di negaranya, kemudian dia akan masuk ke Indonesia maka dia harus mendaftarkan ke PRA di Indonesia. Oleh PRA Indonesia, ia akan diregistrasi dan dia terdaftar sebagai RFA di Indonesia. Kemudian MC indonesia akan melaporkan ke AAC, kemudian selanjutnya adalah peraturan atau hukum di Indonesia. Jadi meskipun dia sudah mempunyai RFA masih ada hukum-hukum yang lain, misalkan dia tidak dapat memperoleh SIPB atau IPTB, karena di dalam peraturan itu disebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat diberikan ijin praktek. Jadi mereka masuk ke sini itu dia hanya dicek kompetensinya, bahwa mereka masuk dan mereka dapat pengakuan kompetensi mereka. Kalau dia masuk sini pertama, maka dia harus bekerja di badan hukum Indonesia atau bekerjasama dengan registered achitect di Indonesia. Mereka tidak serta merta bisa berpraktik buka papan nama dan tetap terkait dengan peraturan perundangan kita.

Prosedur arsitek Indonesia harus punya keahlian. Belum semua Pemerintah Daerah mengatur tentang ijin praktek, padahal di dalam paling tidak ada dua undang-undang: yaitu Undang-Undang Jasa Konstruksi dan Undang-Undang Bangunan Gedung yang menyebutkan seseorang melakukan praktik arsitektur harus bersertifikat. Masalahnya kita punya semacam kelemahan di negara kita sendiri, kalau di Jakarta dia masuk mungkin ada rambu—rambunya. Tapi kalau dia mungkin masuk ke Medan, ke Makassar karena rambunya belum ada, kelemahan rambu-rambu itu bisa menjadi suatu celah juga buat mereka, belum ada peraturan, tinggal masuk saja ke sana. Saya kira ini menjadi PR buat kita semua.

Proses untuk menjadi AA, salah satu yang paling penting untuk diketahui APTARI, yaitu adalah adanya kesepakatan penyetaraan tentang pendidikan arsitek. Jadi disini disebutkan pendidikan arsitek itu adalah 5 tahun. Jadi inilah salah satu yang disebutkan dalam persyaratannya. Pendidikan arsitek 5 tahun, baru kemudian dia dapat memiliki Sertifikat Keahlian (SKA). Selanjutnya, dalam MRA on Architectural Services ASEAN ditentukan harus mempunyai pengalaman kerja 10 tahun, dimana 5 tahun itu pengalaman kerja setelah mendapat lisensi. Dia juga harus mengikuti CBD atau istilah di IAI, PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan). Kemudian mendapatkan registrasi sebagai AA. Persyaratan-persyaratan menjadi AA : pendidikan arsitek 5 tahun, punya pengalaman kerja dan seterusnya, sudah ada di dalam makalah yang saya sampaikan. Contoh dari besaran pekerjaan yang akan menjadi prasyarat skala besar tertentu, jadi yang boleh lintas batas adalah yang mempunyai kompetensi melaksanakan perencaan skalanya tertentu seperti yang sudah disepakati. Misalkan arsitek rumah tinggal tidak termasuk yang boleh lintas batas, dia harus sudah punya pengalaman bangunan komersial sekurang-kurangnya 10.000 m2 dan seterusnya.

Yang penting khususnya buat rekan-rekan dari APTARI kaitannya tentang pendidikan, yang barangkali harus kita pertanyakan di Indonesia: siapa yang menjadi badan akreditasi untuk profesi. Tapi yang penting adalah pendidikan akademik 5 tahun ini menjadi prasyarat menjadi arsitek di Asia. Jadi selain kompetensi dia harus mengikuti persyaratan tentang pendidikan 5 tahun di universitas yang terakreditasi. Di sini menjadi pertanyaan juga buat kita di Indonesia, lalu siapa yang menyatakan bahwa dia terakreditasi, dan terakreditasi pada level mana? Apakah hanya level A saja misalnya? Ini suatu pertanyaan yang tentunya kita harus mengkoreksi lagi.

Pada tahap implementasi, bahwa pemerintah sudah berkomitmen untuk menanda tangani, jadi ketentuan di dalam AFAS seluruh negara ASEAN sudah menyepakati untuk satu ketentuan tertentu tentang peraturan yang akan disepakati yaitu MRA. Peraturan semua sudah lengkap dan dari situ kemudian baru ditandatangani. Tetapi tidak otomatis bahwa negara tersebut ikut di dalam pelaksanaannya. Jadi untuk ikut dalam pelaksanaannya ada satu tahap lagi, di mana negara-negara tersebut menyatakan keikutsertaan. Jadi pertama dia menyatakan setuju pada satu standar, terus kemudian disepakati. Itu sudah terlewati. Tahap berikutnya adalah satu negara boleh menjalankan ini kalau ia mengirimkan yang disebut dengan Notification Letter. Setelah dia memberikan Notification Letter lalu pemerintah membentuk yang disebut Monitoring Committee di negaranya. Nanti beberapa MC dari Negara yang sudah berkomitmen membentuk AAC. Yang sudah masuk Notification Letter-nya antara lain Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Lao PDR, Philipina, dan akan ada beberapa Negara yang akan masuk belakangan. Yang dimaksud belakangan, setidak-tidaknya akhir tahun 2009 semua harus sudah menyatakan untuk ikut. Tahun 2010 semua Negara harus sudah menjalankannya, tahun 2009 ini prosesnya harus sudah berjalan, jadi kita harus sudah siap.

AAC akan segera dibentuk dan rapat CCS berikutnya di Kuala Lumpur. CCS ini akan menetapkan AAC yang mungkin akan ditempatkan di Thailand atau di Malaysia. Pada tahap berikutnya dia sudah bukan working group lagi yang rapat, tapi sudah AAC yang pertama, Itu sudah starting point untuk pelaksanaan. Jadi saya kira mungkin dari rekan-rekan APTARI, bahwa kita harus segera start apa yang harus kita lakukan, sebagai asosiasi profesi tidak bisa berjalan sendiri, harus di back-up oleh pendidikan. Pendidikan harus aware juga, tidak hanya di dalam negeri saja kita punya masalah. Kita harus membangun pendidikan yang compatible, paling tidak di tingkat regional. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan.

DISKUSI TANYA JAWAB

Sesi pertanyaan :

1. Ibu Hima dari ITB

  • Bila nanti Undang-Undang Arsitek berlaku, apakah posisi LPJK akan mengalami perubahan? Karena tadi disebutkan harus ada council dan sebagainya, pemberian sertifikasi dan kompetensi selama ini diambil alih oleh LPJK,
  • apakah itu masih akan tetap sama? Itu kan mungkin akan terjadi perubahan yang besar sekali, karena punya konsekuensi ke MC dan sebagainya.
  • Andaikata ada arsitek ASEAN yang sudah acredited AA, dia kebetulan ke Bali yang tidak mempunyai ijin seperti di DKI ataupun itu kalau terkena ijin harus bekerjasama dengan Badan Hukum di Indonesia, itu arsiteknya yang disebut karya siapa? Katakanlah si arsitek besar yang punya tingkat di ASEAN bekerja sama dengan si Polan, arsitek yang punya ijin praktek kerja di Jakarta, hasil karyanya itu hasil karya katakanlah Tadao Ando, ataukah si Polan karena dia berbadan hukum di Indonesia pengakuan secara legal. Karena kalau di pendidikan harus mengakui ini karya siapa. Kalau kasus ini saya mencoba membayangkan karyanya James Hardi yang ada di Bali, itu kan ada public building buat bangunan sekolah yang dari bambu yang bebas merdeka, saya gak tau apakah uji konstruksinya dilakukan, nah ini pertanggungan jawab keselamatan, tanggung jawab konstruksi dan sebagainya di tangan siapa kalau ini karya arsitek asing yang barangkali flamboyan tetapi Bali barangkali tidak punya ijin, barangkali itu lebih jelas tidak terlindungi oleh hukum, ini bisa diakui nggak sebagai karya arsitek?
  • Soal tadi yang sekarang sudah berlaku dan sudah di tandatangani, dan harus sudah diimplementasikan ASEAN Architect, ini berarti yang saya lihat berarti pengalaman 10 tahun jadi akan terkena arsitek yang lulusnya 10 tahun yang lalu paling cepat, karena pengalaman yang dianggap setelah selesai langsung bekerja berarti 10 tahun yang lalu dia kan baru lulus, yang sekarang harus sudah, misalnya sekarang punya proyek yang harus begini, itu bagaimana transisi ini disikapi oleh IAI, apakah ada akreditasi oleh IAI bahwa karena sistem pendidikan lama atau pengalamannya sudah diakui lebih dari 5 tahun, kalau 10 tahun yang lalu saya kira S1, saya lupa mohon Pak Heru mengkoreksi, 10 tahun yang lalu baru 4 tahun program, kalau ini tidak dipenuhi 5 tahun, sekarang sudah punya kesempatan untuk akreditasi arsitek, itu apa yang harus dilakukan menurut MC ataupun council arrchitect, apakah dia harus ikut tambahan 1 tahun, atau dia diakui karena sudah berpengalaman 10 tahun lalu diakui oleh MC bahwa ini AA begitu?

1. Pak Kemas dari UI

  • Untuk seorang arsitek bisa mendapatkan AA apakah levelnya madya, utama atau pratama tadi, karena disini tertulis 10 tahun itu mungkin disini levelnya disini mungkin utama. Apakah pratama atau madya bisa mendapatkan ?
  • Jika seorang arsitek mendapatka RFA dari untuk satu negara, apakah RFA itu berlaku untuk negara lain? Jadi misalnya dia sudah selesai di Thailand itu apakah bisa langsung pindah ke negara lain untuk melakukan praktek arsitektur?
  • Sama dengan Bu Hima
  • Hal 6, dari sertikat IAI ke Sertifikat Keahlian ke Pendidikan S1, apakah pendidikan yang disini yang dimaksud pen/didikan S1 4 Tahun atau 5 tahun? Karena sekarang S1 itu 4 tahun. Kalau pendidikan arsitektur itu adalah 5 tahun, bagaimana dengan S1 4 tahun yang tercantum di UI?

1. Pak Yoyok

  • Bagaimana hal mengenai perlindungan terhadap profesi arsitektur, saya rasa IAI atau APTARI perlu memberikan respon terhadap konflik antar ilmu dan antar profesi , tanggung jawab dan kewajibannya seperti apa? Mungkin juga di APTARI sebagian akademisi itu berprofesi sebagai arsitek. Apakah dalam perkembangan peraturan kita nanti diatur juga mengenai hal ini?
  • Mengenai kesetaraan didalam sertifikasi arsitek antar negara, mungkin saya belum begitu jelas tadi, karena kemarin saya ketemu Pak Johannes Widodo, Tampaknya arsitek kita tidak diakui di Singapore, sementara Singapore dulu banyak belajar justru diberi masukan oleh Pak Johannes, begitu. Tapi katanya beliau kok gak bisa berprofesi disana. Nah ini, apakah juga tidak ada kesetaraan?
  • Proses untuk menyelenggarakan Pendidikan Profesi, UGM masih dalam persiapan. Tapi bagaimana sebenarnya prosesnya harus dilakukan, termasuk juga mungkin persyaratan-persyaratan yang harus disiapkan?
  • Mengenai arsitek yang memenangkan kompetisi dan belum menjadi anggota IAI. Kebetulan kemarin kami mengadakan suatu lomba yang salah satu syaratnya menyertakan kartu anggota IAI, karena kami bekerja sama. Tapi mungkin banyak lomba-lomba yang tidak mensyaratkan itu. Kebetulan di tempat kami ada yang mendapatkan anugerah konstruksi dari PU, tapi belum anggota IAI. Bagaimana sebaiknya, karena memang belum semuanya yang mengaku arsitek memiliki kartu anggota IAI?
  • UGM mencoba menggali bangunan-bangunan bersejarah yang tidak diketahui siapa arsiteknya, apakah IAI mempunyai keinginan untuk itu? Arsitek gedung pusat UGM itu adalah Pangeran Adinegoro. Ini adalah kondisi ketika orang tahu bangunannya tapi tidak tahu siapa arsiteknya. Jadi kami mengusulkan setiap gedung diberi informasi siapa arsiteknya.

Sesi jawaban :

1. Jawaban untuk Bu Hima

  • Satu UU dia harus komplementer dengan UU yang telah ada.
  • Tentang AA, saya akan cerita yang lain, waktu kita melakukan perundingan di MRA, ada pertanyaan : Apakah ASEAN akan bersepakat melakukan pengaturan tentang non ASEAN Architect? Akhirnya kita sepakat ini menjadi hak masing-masing negara, karena masing-masing negara mempunyai policy yang berbeda-beda. Khusus untuk MRA on Architectural Services ini, kita mengatur tentang kompetensi arsitek yang diakui. Kita melihatnya sebagai batu loncatan ke depan, kita mempunyai AA sebagai uji coba dulu, kita bisa mengatur sebenarnya untuk tingkat regional. Kita akan membuat aturan untuk Foreign Architect secara keseluruhan. Sekarang kita masih belum tahu permasalahannya, untuk masalah AA saja kita baru mulai. Tahap berikutnya adalah untuk non AA, kita sedang menggodok juga. Sekarang yang ada kaitannya dengan masalah nama, saya kira dimanapun di negara yang lain terhadap pengakuan karya arsitek itu kepada arsitek penggagas perencanaan. Tetapi ada pengaturan yang lain, aturan perundangan tentang perijinan membangun, seseorang yang mengajukan IMB harus registered dan ia harus mempunyai ijin. Di situ timbul masalah-masalah yang sifatnya kasuistik, misal ada arsitek yang mempunyai reputasi internasional, ketika dipercaya melakukan perencanaan ketika waktu mau dibangun maka ia harus memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku di negara tersebut. Pada saat mau dibangun dia harus bekerjasama dengan arsitek yang mempunyai kompetensi untuk mempertanggung jawabkan secara hukum. Begitu yang bersangkutan sudah bertanggung jawab secara hukum, semua kesalahan akan ditimpakan kepada yang bersangkutan. Sama juga dengan sayembara, jadi sayembara adalah satu proses untuk mendapatkan satu gagasan terbaik. Tidak ada dalam suatu aturan bahwa ikut sayembara harus registered Architect, tidak ada itu. Tetapi kalau gagasan tersebut diterima dan akan dibangun baru munculah peraturan yang lain. Pemenang sayembara yang belum menjadi anggota arsitek, apabila karyanya mau dibangun di situ, timbulah masalah-masalah hukum, dia harus diajukan oleh arsitek yang bersertifikat. Kalau bangunan itu dengan nilai besar maka harus dibangun oleh perusahaan yang berbadan hukum.
  • Tentang pengalaman, kita bisa minta sesuatu yang bersifat ekuivalensi untuk masalah transisi dan sebagainya. Makanya harus ada perwakilan dari APTARI di dalam MC, supaya yang bersangkutan mewakili perguruan tinggi bisa menilai apakah yang bersangkutan walaupun pendidikan awalnya hanya 4 tahun dia sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun 5 tahun diantarnya bersertifikat itu ia bisa ekuivalen nggak dengan yang pendidikan 5 tahun? Bisakah kita pertanggung jawabkan? Di dalam ketentuan lebih lanjut AAC, AAC bisa re cek yang bersangkutan apabila yang bersangkutan tidak kapabel, itu menjadi tanggung jawab MC. Registrasi AA dilakukan negara masing-masing, begitu di tetapkan MC Indonesia sudah mempunyai otority untuk melakukan registrasi dengan segala macam tanggung jawabnya. Apabila yang diregistered tidak kapabel lisensinya bisa dicabut dan itu suatu kesepatan. Tetapi kita sepakat bahwa ada ekuivalensi, karena ada beberapa negara,mempunyai sistem pendidikan yang berbeda.

2. Jawaban untuk Pak Kemas

  • Tentang level, bisa saja dari madya, utama, pratama sejauh semua ketentuan internasionalnya tadi terpenuhi. Kenapa ada madya, utama dan pratama? Jadi itu semacam jalan keluar untuk membedakan ketimpangan, kesenjangan standar kompetensi arsitek. Kita tahu ada Nasional, ada tingkat daerah, daerah juga mungkin ada daerah yang belum berkembang, dan kita harus mengakomodir masalah-masalah seperti itu makanya di Indonesia kita membuat grid, level-level, yang sepertinya di negara lain tidak mengenal, arsitek ya arsitek tapi portfolionya yang menentukan dia masuk ke mana. Level tadi bisa dipakai pertimbangan oleh MC. Karena kita mempertaruhkan nama negara, paling tidak dia harus madya.
  • RFA yang pindah-pindah negara, sertifikat yang registered AA dari Indonesia, kalau kita mau masuk Malaysia, kita harus daftar di Malaysia. Jadi RFA Malaysia, kalau mau pindah ke Thailand disana kita daftar lagi dan mendapatkan RFA Thailand.
  • Pendidikan S1 4 tahun dan 5 tahun, ketentuan yang ditentukan sertifikasi IAI kita membicarakan adanya entry pendidikan S1 dan tidak dikaitkan dengan MRA. MRA itu baru mengatur di tingkat MC nya, MC yang akan membuat rambu lagi. Jadi sertifikasi tidak mengatur itu.

3. Jawaban untuk Pak Yoyok

  • Mengenai perlindungan terhadap profesi arsitek. Mungkin kita harus menyamakan persepsi dulu, UU yang diproteksi bukan arsiteknya, tapi masyarakat pengguna jasanya. Ketentuan lebih lanjut UU menunjukkan siapa sebenarnya arsitek? Apa profesinya, dan seterusnya, bagaimana pencapaian assesmentnya. Peraturan bisa jalan kalau ada sangsi, yang terkena sangsi kalau ada orang yang bukan arsitek mengaku arsitek (belum bersertifikat, belum teruji dan mengaku sebagai arsitek) dan dia melakukan kegiatan arsitek. Arsitek yang melakukan malpraktik itu larinya ke kode etik, bukan masalah pidana atau apa. Yang terkena sangsi itu adalah mengaku sebagai arsitek tapi bukan arsitek.
  • Sertifikasi antar negara, saya cerita yang lain, kita bicara tentang AA, misal ada arsitek Amerika dia tinggal di Singapura, dia mendapat registered di Singapura, apakah dia dapat dikatakan sebagai registered AA? Dikatakan bahwa yang terregistered AA dia harus warga negara ASEAN. Apakah bila dia sudah terregistered AA, apakah perlu diuji lagi di negara lain? Jawabannya adalah tidak. Justru ini adalah kesepakatan kita, kita sepakat mengenai suatu standar kompetensi tertentu, standar pendidikan dan sebagainya. Begitu dia sudah terdaftar sebagai arsitek ASEAN, di negara ASEAN manapun itu diakui, jadi tinggal lapor ke negara tersebut dia terdaftar sebagai RFA, jadi tidak ada ujian lagi.
  • Bangunan bersejarah. IAI mempressure bangunan-bangunan yang bernilai arsitektur, antara lain menelusuri siapa arsiteknya dan sebagainya. Beberapa kota sudah mempunyai ordonansi untuk melindung bangunan-bangunan bersejarah ditetapkan di perda dan sebagainya. Ironsnya di beberapa kota tidak dilakukan sehingga banyak bangunan bersearah hilang satu persatu jadi mall dan sebagainya. Tetapi ini saya kira ini jadi concern bagi kita bersama, concern dari pendidikan maupun IAI.

6. Peraturan Perundangan yang berkaitan dengan Profesi Arsitek, Ahmad Djuhara, IAI

Peraturan di negara kita dalam lingkup dunia pendidikan arsitektur dan profesi arsitek saling berkait erat dan juga berhubungan sebab akibat. Ada banyak kemungkinan dan konsekuensi yang akan perlu dibangun untuk memberi kepastian dalam sebuah proses panjang membangun kepastian kompetensi lulusan perguruan tinggi arsitektur dan arsitek yang berpraktik.Jadi mau tidak mau APTARI dan IAI harus mulai membangun saling pengertian.

Jadi kita bisa mulai.

Dan ini adalah pola hubungan kelembagaan, tadi juga ada pertanyaan mengenai bagaimana magang itu? Bagaimana akreditasi? Bagaimana BAN? Jadi kita lihat disini bahwa yang di kanan atas itu arsitek memerlukan ijin praktek misalnya, dan itu lisensi, jadi ada 3 hal yang diatur adalah : registrasi, sertifikasi, dan lisensi. Registrasi dan sertifikasi itu sudah misalnya, tadi Ibu Hima juga tanya apakah LPJK masih berfungsi atau tidak? Pak Suntana menjawab masih berfungsi, terus terang ini belum final jawabannya.

Dan lisensi ada di setiap pemerintah daerah. Kalau di Jakarta itu ada yang namanya Pergub 132 mengenai IPTB (Ijin Pelaku Teknis Bangunan), beberapa propinsi lain sudah memberlakukan, Jatim masih memberlakukan namanya masih tetap SIBP, di Jawa Barat masih memperjuangkan tapi sepertinya maju mundur. Padahal ini adalah sebuah amanat Undang-Undang. Undang-Undang Bangunan Gedung menyatakan bahwa setiap Pemerintah Daerah harus mempunyai namanya TABG (Tim Ahli Bangunan Gedung), yang mestinya diambil dari pihak asosiasi profesi dan dari pihak perguruan tinggi juga. Jadi banyak Pemda kita yang melanggar hukum karena mereka tidak punya. Tapi semestinya kita tidak gentar dengan hal ini dan harus membangun sebuah kelembagaan yang layak, yang teratur dan kita perlu tahu gelombang yang akan datang menerpa kita kalau kita tidak siap seperti itu. Dulu Batam pernah punya, tapi tidak berjalan dengan baik, kabarnya mau diberlakukan. Mudah-mudahan teman-teman dari APTARI yang tersebar dari di seluruh Indonesia juga mempunyai kepedulian sehingga bisa mendorong IAI daerah masing-masing memperjuangkan hal ini juga, karena ini merupakan kepentingan dari hasil peserta didik. Misalnya, mereka harus mempunyai kepastian lisensi mereka.

Lalu PKB/CPD itu juga merupakan bagian hal yang harus diatur. Juga magang. Jadi di sini alasannya mestinya terbaca bahwa Perguruan Tinggi, seperti Pak Endy Subijono tadi sampaikan, berkompeten atas sebuah proses yang 5 tahun. Lalu ada juga pemahaman-pemahaman, apakah ini pendidikan profesi yang menghasilkan arsitek atau tidak? Apakah kalau pendidikan tinggi tidak menghasilkan arsitek, masih bisa disebut sekolah arsitektur? Saya cuma bertanya, saya bukan mempertanyakan atau menetapkan anda harus begini begitu, saya bertanya dulu kepada teman-teman, boleh nggak bicara begini? Ini adalah sepenuhnya otoritas perguruan tinggi untuk menentukan warnanya masing-masing. Tapi adalah otoritas di keprofesian ketika ada yang menentukan prasyarat-prasyarat kompetensi yang harus dipenuhi. Jadi keberhasilan lulusan sepenuhnya ada di anda, tapi kami akan mempersyaratkannya setelah magang, dan magang itu adalah bagian dari yang harus diatur oleh IAI. Jadi ada beberapa perbedaan terminologi, misal, saya tahu dari UPH, menyatakan magang harus di S1, sebetulnya kami tidak mengakui itu sebagai magang, tapi itu kerja praktek dalam lingkup S1. Magang adalah sepenuhnya sebuah proses belajar di lingkungan profesi di bawah panduan dari arsitek yang ber SKA setelah dia lulus 5 tahun. Dan itu yang menjadi persetujuan diantara kita. Setelah magang maka dia harus menempuh ujian, yang belum ada ujiannya sekarang di IAI. Yang ada hanyalah baru proses sertifikasi, jadi kami sedang menyusun sistem ujian ini. Mudah-mudahan kita dan bantuan teman-teman juga bisa menelaah, dan sedang dibangun dalam IAI, dan siapa juga yang akan memimpin magang dan selanjutnya. Kemudian tadi sudah disinggung juga mengenai Dewan Arsitek yang akan mempunyai sebuah fungsi khusus dalam kepranataan profesi arsitek di negara kita.

Selanjutnya, bahwa ada sekian banyak misi, keterlibatan masyarakat dan sebagainya. Undang-Undang Jasa Konstruksi itu mengatur hal-hal seperti ini dan mereka punya peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur hal selanjutnya. Kita memerlukan sebuah peraturan yang dapat mengatur profesi ini secara tuntans. Maksudnya tuntas adalah semoga tidak diperlukan peraturan pelaksanaan berikutnya, jadi final, dan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan. Bagaimana mengaturnya, yang dirancang adalah bahwa Dewan Arsitek akan mengeluarkan peraturan-peraturan Dewan Arsitek. Dewan Arsitek juga akan melibatkan wakil dari perguruan tinggi, bagaimanapun juga akan mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan.

Sementara misi lain (dari tanggung jawab sosial dan segala macam itu) dibebankan pada sang arsitek. Di sini kita harus sadar bahwa yang perlu diatur adalah sosok arsiteknya, bagaimana arsitek itu dan cara berprakteknya. Ini menjadi penting bahwa kisi-kisinya adalah mengenai pendidikan yang diatur, tadi sudah disinggung, pelatihan profesinya, keahlian profesi, dan selanjutnya. Apa itu keahlian kompetensi itu, maksudnya adalah peran organisasi.

Jadi ini kami kembali memohon menyertakan sesuatu dan kerjasama dari APTARI untuk bisa memahami hal ini, karena -terus terang- ada beberapa pihak lain yang sudah berusaha untuk mengambil peran dalam proses sertifikasi dan hal itu dalam proses kenegaraan bisa jadi sah-sah saja, tapi dalam sebuah penyelenggaraan di luar sistem ini akan merepotkan banyak pihak. Padahal, kita juga menghadapi penyelenggara lain.

Negara lain pun juga mengalami masalah yang sama, tapi kita harus siap betul di negara kita sendiri. Peran organisasi adalah bagaimana menjalankannya. Ada juga masalah-masalah kode etik yang diatur di situ, walaupun dengan sendirinya mengacu pada asosiasi yang mempunyai kode etik itu.

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah pendidikan setelah mendapatkan sertifikat, setelah seseorang mendapat SKA. Setelah mendapatkan SKA, tiga tahun kemudian dia harus memperbaharuinya dengan menyetor nilai kum sebesar 105 (35 per tahun). Mohon dibedakan, kum yang ada di perguruan tinggi itu berbeda dengan yang ada dari asosiasi profesi, karena ada beberapa surat kepada saya sebagai ketua IAI Jakarta. Ada dosen yang diminta menjadi juri dalam sebuah sayembara desain arsitektur, maka beliau memohon kum kepada IAI untuk bisa dipakai di Perguruan Tingginya. Mohon maaf, ini tidak bisa, karena kita harus benar-benar tegas dan jujur bahwa untuk keperluan profesi dipakai untuk keperluan profesi, Kum akademik dipakai untuk keperluan di bidang akademik. Saya kira ini adalah kode etik di antara kita juga, ya, rasanya? Mohon agar hal itu bisa kita pahami dan kita sepakati bersama.

Tentang kekayaan intelektual dalam Undang-Undang Hak Cipta, kembali, penelusurannya tidak mudah. Di lingkungan jasa konstruksi itu, semua profesi bekerja harus dijamin dengan asuransi. Tetapi di Indonesia hal ini secara resmi dinyatakan belum bisa. Asuransinya belum bisa menjamin karena belum ada Undang-Undangnya. Kalaupun sudah ada Undang-Undangnya, bagaimana mengurai tanggung jawab itu adalah sebuah kepusingan yang lain. Jadi bagaimana anda bisa mengejar tanggung jawab seorang arsitek ketika bangunan ini runtuh? Apakah arsiteknya bisa dikejar tanggung jawabnya atau ahli strukturnya? Di dalam proses yang mana dan siapa sebetulnya yang berbuat kesalahan? Tadi kita melihat ada 3 proses: 1) perencanaan, 2) pelaksanaan konstruksi dan 3) perawatan bangunan. Ada konsekuensi pada arsitek, misalnya kita harus menyimpan dokumen sewaktu perencanaan dan pelaksanaan konstruksi selama 10 tahun, karena tuntutannya seperi itu. Karena kita tahu persis, bisa diurut siapa yang bertanggung jawab. Mobil terjun misalnya, itu siapa yang bertanggung jawab? Arsiteknya? Belum tentu. Masalah mobil terjun itu apa polisi bisa langsung utak-atik arsiteknya? Atau dalam kasus Trowulan apa polisi bisa langsung masuk menanyai arsiteknya atau tidak? Semestinya IAI dalam hal ini, bagaimanapun juga, kalau keluar sifatnya akan melindungi anggotanya. Tapi melindungi anggota dengan pertanggung jawaban tertentu. Kita punya yang namanya Dewan Kehormatan, yang akan menelaah mengenai tanggung jawab etik seseorang ketika mengurai sebuah tanggung jawab. Jadi beberapa pihak sudah sangat gencar menuntut: mana tanggung jawab IAI? Untuk mengeluarkan pernyataan ini salah atau tidak, kami sekarang memprosesnya dengan proses yang seperti itu, harus lewat Dewan Kehormatan. Dewan Kehormatan bukan pengurus. Kalau sudah ada sebuah keputusan dari Dewan Kehormatan, Pak Endy akan mengumumkannya. Tapi beliau berkewajiban mendampingi arsitek yang bersangkutan. Ini adalah sebuah prinsip kesejawatan antara arsitek dan kita harus hormati. Jadi masalah kegagalan bangunan adalah aspek baru yang harus ditelaah juga dan itu sangat-sangat rumit. Dan kita akan berhadapan dengan profesi lain yang akan berkelahi, bisa jadi.

Lingkup pengaturan arsitek perlu diatur lebih lanjut. Ada masalah sosial budaya dan lain-lain. Arsitek memang dinyatakan mempunyai tanggung jawab dan mempunyai kode etik dan kaidah tertentu sebagai pelaku. Misalnya kegagalan bangunan itu, ketika bangunan itu sudah dipakai 5 tahun, maka pemilik bangunan dikenakan tanggung jawab atau tidak. Hal ini mengurainya juga sangat rumit dan rasanya tidak bisa kalau polisi langsung menyidik.

Sebuah ilustrasi, Cina sebelum olimpiade, kedodoran mengatur arsitek asing. Mereka tidak mempunyai cukup SDM, maka sekian banyak arsitek asing masuk. Yang kita lihat terbangun banyak sekali bangunan megah, tetapi dalam hal kondisi profesi arsitek di dalam negeri Cina, mereka tidak punya cukup SDM yang memadai. Dalam 5 tahun ke depan tantangan berikutnya adalah India, dan bukan tidak mungkin 5-10 tahun lagi adalah Indonesia, jadi kalau kita tidak siap dengan pengaturan profesi ini maka kita akan booming, tetapi tidak siap dengan SDM. Itu adalah kerunyaman yang luar biasa bagi sebuah negara. Kita juga menunggu-nunggu Gubernur mana yang mau ketempatan olimpiade.

Hukum menjamin kepentingan-kepentingan masyarakat, jadi ini adalah masalah-masalah kepastian hukum. Negeri kita adalah sangat mewah karena banyak ketidak pastian. Orang asing senang kesini karena negara kita adalah negara bebas, kepastiannya masih bolong, maka hukum perlu ada. Ini adalah kembali tatanan normatif kita, bagaimanapun juga argumentasi ini harus kuat dan bunyi terhadap penyelenggara negara.

Kondisi saat ini, ini adalah kondisi yang sangat tidak baik. yaitu Keselamatan, keamanan, kesehatan menjadi prasyarat bagi suatu bangunan. Kehandalan bangunan adalah seperti ini, beberapa ide menyatakan bagaimana kalau bangunannya semua bangunan di Indonesia harus diasuransi. Tapi dengan syarat bangunan harus dirancang oleh arsitek bersertifikat. Ini ada sebuah pemahaman juga bagaimana memisahkan istilah profesi dan okupansi, jadi seseorang berprofesi arsitek bila dia mencari nafkah dari pekerjaannya sebagai seorang arsitek, merancang. Kemudian kalau misalnya dia pejabat di PU, tapi dia menyebut dirinya arsitek, boleh atau tidak? Pekerjaannya okupasi adalah pekerja PU, tapi pendidikan tinggi sebagai sarjana arsitektur. Arsitek dan sarjana arsitektur itu berbeda, jadi harap dibedakan. Ini adalah sebuah kesepakatan hukum yang perlu disepakati juga.

Payung hukum yang mengayomi profesi tadi belum mengatur persyaratan kualifikasi dan kompetensinya. Ada lagi pengaturan arsitek asing. Arsitek asing itu saya mohon tidak semuanya dianggap buruk, ya. Banyak juga yang bagus-bagus. Kenapa tidak diundang ke Indonesia? Tapi ada juga fenomena yang buruk yang berpraktik di indonesia. Tapi tidak semuanya buruk, tidak semuanya jahat. Kita malah di IAI itu bingung dan malu karena mereka datang ke IAI berlisensi dan menyatakan mau mengikuti peraturan disana, dan kami tidak bisa menjawabnya karena tidak ada Undang-Undangnya.

Kondisi yang diinginkan: merasa aman dan terjaminnya kehandalan bangunan. Hak masyarakat mendapatkan pelayanan standar bisa diketahui. Kalau anda bekerja di jasa konstruksi dan kalau anda tidak bersertifikat maka anda telah melanggar hukum. Tapi belum ada yang ditangkap, ya? Polisinya belum mengerti, soalnya. Ini kembali aplikasi dan Undang-Undang belum tentu menjamin hasil yang baik juga.

Komunitas arsitek dunia tadi sudah disinggung. Ada UIA, kongresnya setiap 3 tahun sekali. Saya harap anda dari APTARI memantau ini, karena websitenya ada. Ada beberapa ketentuan yang juga menyinggung hubungan dengan pendidikan arsitektur. Di kongres yang lalu itu saya datang dan melihat bahwa UIA menugaskan RIBA untuk bisa mengatur standar mengenai pendidikan arsitektur. Belum final, bisa jadi perlu sewaktu-waktu. Saya mohon anda juga mempelajarinya kalau keluar karena kita perlu berdiskusi masalah itu. Hal ini bukan merupakan keharusan, karena di sidang itu saya lihat sendiri negara Skandinavia menolak keras, karena dianggap merusak tatanan yang sudah baik di negaranya.

Bagan ini ada karena beberapa teman diajak diantaranya HDII. Maka ada komunitas yang lain disitu IFI, IFLA dan segala yang lain. Kita juga anggota ARCASIA

Bagian ini memperlihatkan fakta-fakta yang anda semua tahu bagaimana ini harus diurai: keselamatan, pengusutan, pencegahan. Kemudian keberadaan ini akan menghasilkan hal-hal seperti ini, jadi ini harapan, tapi bagaimana bisa menjamin itu soal lain lagi. Apakah IAI bisa menjamin ataukah Dewan Kehormatan bisa menjamin, misalnya. Ini adalah sebuah tugas yang harus dijabarkan lagi kalau ada peraturan baru.

Kegagalan bangunan tadi sudah saya sampaikan. Undang-Undang Jasa Konstruksi membahas mengenai tolok ukur. Ada proses investigasi yang harus dimulai, rekomendasinya bagaimana, dan peraturan baru akan membantu menemukan bagaimana posisi pelakunya, pertanggung jawabannya, pengawasan, dan pencegahan di masa mendatang. Ini adalah konsekuensi bagi IAI bahwa ada konsekuensi yang dulunya hak menjadi kewajiban. Ada perbatasan gerak kita yang dulu bebas menjadi terkurangi. Kemudian keberpihakan itu harus dinyatakan secara jelas. Tuntutan pengembangan: kalau tidak mengembangkan diri ada kemungkinan akan dicabut SKA nya, karena tidak mengasah dirinya sendiri secara terus menerus karena itu adalah tuntutan. Peringatan untuk selalu berhati-hati ini juga menjadi kesadaran baru,

Bagan ini memperlihatkan asosiasi yang di bidang arsitektur tadi, Kalau dalam konteks penjabarannya Pak Suntana tadi di beberapa negara interior designer adalah unregistered profession, karena tidak berkonsekuensi hukum. Kembali kami mohon atas nama IAI, bahwa anda bisa menelaah bagaimana sih rumpun pendidikannya, jawabnya juga susah ya. Acuan Induk organisasi internasional tadi sudah ada, ARCASIA dan UIA. Hal ini menjadi senjata kita juga. Hanya boleh satu asosiasi yang dari suatu negara yang bisa menjadi anggota asosiasi internasional ini. Anggota ARCASIA dan UIA dari Indonesia adalah IAI. Sementara kalau di Jepang ada yang namanya JIA dan AIJ. JIA yang menjadi anggota UIA. Hal ini menjadi konteks pemahaman di bidang pertautan organisasi.

Ini adalah bidang S1 kalau ditelaah misal di ITB, Trisakti, kalau lihat dari fakultas-fakultas yang ada maka pembahasan mengenai program studi menjadi relevan untuk dibicarakan karena kompabilitas dan persamaan antar negara saja ada kerumitan tertentu, ternyata di dalam negeri sendiri itu adalah sebuah masalah juga, yang tentunya ini adalah kompetensi anda. Ini adalah materi pembahasan yang disampaikan untuk pihak lain, tetapi anda perlu tahu bahwa pemahaman kami tetap menghargai keberagaman itu. Kami mempunyai kepentingan untuk bisa mendapatkan pernyataan dari APTARI apa yang bisa dinyatakan sebagai standar, setidaknya kita bisa mempunyai kesepahaman dalam hal-hal yang lebih spesifik yang mengatur hal-hal pendidikan. Rasanya begitu materi penyampaian dari IAI mengenai pengaturan yang kita perlukan di dunia profesi arsitek dalam hubungannya dengan pendidikan arsitektur. Terima kasih.

DISKUSI TANYA JAWAB

Sesi pertanyaan :

1. Professor Gotty

  • Disini saya melihat kerancuan, mengingat arsitek sebagai individu atau kelompok yang berhubungan dengan individu atau kelompoknya tadi. Sehingga ia berbeda dengan planner interior designer, yang resikonya tidak sama, sehingga kenapa ia harus diatur dalam Undang-Undang. Undang-Undang itu kontrasosial jadi urusannya publik. Dari segi hukum issuenya kan dua perdata dan pidana, kalau perdata gampang itu urusan perjanjian aja, tapi kalau pidana ini dia mati kejatuhan balok misalnya, sehingga kita bisa merumuskan tadi ada kebingungan. Sehingga rumusannya pasal-pasal itu, bahwa arsitek itu ada yang menjadi problematik pada saat dia berhubungan dengan publik, terutama yang mengancam keselamatan, seperti mobil jatuh, itu menurut saya gak bisa, jadi IAI disini kalau sudah pidana gak bisa Pak. Ini antara individu dan kelompok dan orang, tapi kalau perdata mungkin bisa. Dan tadi statement Pak Djuhara itu kelihatannya agak berlebihan, di IAI itu ingin melindungi, saya kira nggak bisa itu, kalau pidana nggak bisa.

2. Bu Hima

  • Mungkin kalau saya tertarik dengan isitilah subjek itu tadi ya, jadi kalau ada pengaturan profesi arsitek, maka hal itu akan konsentrasi kepada subjeknya. Alangkah baiknya, barangkali ini sebuah himbauan, kalau subjek itu prosesnya panjang, kemudian pembentukan kompetensi dan sebagainya itu melibatkan banyak pihak, jadi lebih baik kalau ditangkap kalau tidak dari segi keprofesiannya saja. Jadi kependidikannya saya kira mempunyai peranan kontribusi yang besar sekali. Sehingga ini konkritnya untuk pembentukan Dewan Arsitek itu nanti barangkali porsi untuk perwakilan dari pendidikan harus lebih besar. Jadi untuk pembentukan Dewan Arsitek itu jumlahnya kalau saya lihat di Amerika itu porsinya sama banyak dari profesi maupun kependidikan itu sama. Jadi kalau bisa itu juga diakomodasi karena konsekuensi subjek itu tadi. Jadi keterwakilan dari profesi dan kependidikan kalau bisa sama.

3. Bu Hardiyati

  • Saya menanyakan keterkaitan arstek dengan kelembagaan. Disini ada suatu masyarakat atau pengguna jasa, apakah setiap masyarakat yang membangun harus menggunakan arsitek? Bagaimana yang di desa, mereka sudah membangun sendiri dan memilih konstruksi sendiri dan sebagainya.
  • Kemudian yang kedua yang berkaitan dengan akreditasi, siapa yang berhak mengakreditasi, karena kemarin saya juga membaca ada edaran dari Diknas, setiap pemerintah memberikan ijin pengelolaan itu artinya sudah terakreditasi dengan sah. Kemudian bagaimana kedudukannya dengan BAN, kalau disana BAN adalah suatu Badan Akreditasi yang sifatnya independen. Saya kira begitu, terima kasih.

4. Pak Kemas

  • Saya ingin menanyakan ketegasan mengenai perlindungan tadi. Apakah di pengaturan profesi arsitek itu sangsi terhadap pihak yang melanggar melakukan malapraktik atau melibatkan masyarakat menjadi korban atau mengalami kerugian itu juga termasuk di dalam peraturan atau kalaupun tidak bagaimana cengkraman hukumnya terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan, misalnya tadi disebutkan SKA nya dicabut, apakah hanya cukup disitu, aspek legalnya dimana?
  • Implementasi pengaturan profesi ini di daerah-daerah, di daerah banyak bangunan yang dibuat tanpa arsitek, payung hukumnya bagaimana?
  • Otoritas Dewan Arsitek itu seperi apa? Terima kasih

5. Pak Bambang Soemardiono

  • Ini pertanyaan banyak orang, kapan kita bisa memberikan banyak masukan, apakah kita akan memberi masukan kelak. Kata kelak ini kira-kira kapan, apakah ada keterwakilan Dewan Kehormatan, atau sampai dimana teman-teman bisa memberi masukan dalam bentuk apa? Kata Pak Endy tadi ada 3 pilar itu mungkin yang bisa kita laksanakan, dalam bentuk konkritnya gimana kira-kira, apa yang bisa diberikan teman-teman ke tim kerja ini. Terimakasih.

Sesi Jawaban

1. Jawaban untuk Professor Gotty

  • Professor Gotty, rasanya saya berlebihan bisa jadi, tapi maksud saya adalah mendampingi bukan melindungi, mendampingi. Jadi itu adalah kewajiban dari organisasi ya Pak, karena kami melindungi bukan berarti membenarkan yang salah, tidak. Tapi tentunya Dewan Kehormatan itu sudah akan bersikap, dan itu sebuah sikap terhadap masalah etik memang diputuskan oleh lembaga ini, Dewan Kehormatan. Jadi kami di IAI Jakarta misalnya itu juga mempunyai beberapa masalah yang berkaitan dengan kode etik terhadap pihak luar bagaimanapun juga ini harus dikelola dengan baik, bahwa kita harus menjamin hak-hak mereka, dan menyatakan bahwa anggota kita bahwa bersalah. Kalau konsekuensi organisasi tidak bisa konsekuensi seperti yang diterapkan oleh negara. Otoritas IAI hanya sampai pada ’mengeluarkan’, mencabut SKA sampai dengan mengeluarkan. Betul kata Pak Gotty ini peraturan yang konsekuensi nya tidak hanya perdata, tetapi pidana. Ketika polisi sebuah perangkat hukum negara itu akan bekerja, ada polisi, jaksa dan hakim. Tapi karena juga dia dianggap spesialis dia akan dikelola secara berbeda tidak sama dengan pengelolaan putusan yang lain, kira-kira begitu. Tapi dalam hal orang mati, tadi juga ini mau diputuskan berapa tahun misalnya, maka ada sangsi-sangsi itu bisa jadi akan tertuliskan. Kembali untuk diketahui kami setiap minggu masih berapat ini, Pak, untuk menentuka hal itu saja sebuah hal yang rumit, karena, dan ini konsekuensi nya seumur hidup kita. Jadi masukan Pak Gotty sangat berharga, kita juga bisa melihat misalnya ada sekian banyak diskursus mengenai, apakah arsitek itu profesi? Tentunya YA, tapi kenapa itu disebut profesi? Jadi kalau mahasiswa anda kalau sudah lulus itu masuk IAI, itu pertama kali harus mengikuti Penataran Kode Etik Dan Tata Laku yang seharian itu. Pertama kali yang diajarkan adalah pengertian mengenai profesi. Lalu yang diajarkan ini punya konsekuensi pertanyaan yang banyak macam lagi, sampai akhirnya tadi kalau tidak mempunyai konsekuensi hukum atau konsekuensi resiko mati apakah itu bisa disebut profesi, misalnya. Profesi itu bisa dituntut pertanggung jawaban profesionalnya. Apakah kalau seorang planner merancang kota terus macet, seseorang bisa dituntut pertanggung jawaban profesinya? Kalau arsitek yang bikin namanya terpampang ada yang salah misalnya, ada yang bocor aja bisa dituntut. Terimakasih untuk masukan ini rasanya kita punya PR, ini datang ke sini untuk menambah PR. Lalu arsitek dan individu, memang mengenai individu dan kelompok peraturan juga konsekuensi nya sangat problematik juga. Ada banyak hal yang hitam dan putih lebih mudah, tapi yang abu-abu ini cenderung lebih banyak. Paling tidak kita mendapatkan kepastian yang hitam dan putih dulu, itu adalah langkah besar sebetulnya untuk mengurai sesuatu. Ini adalah dilema-dilema yang harus diputuskan, jadi bagaimanapun juga dilema-dilema itu harus diputuskan dan diurai satu persatu. Rasanya kenyataan yang kita ambil, seperti ini sekarang. Peraturannya harus terwujud dulu, sekian banyak abu-abu itu menjadi PR kita bersama, mohon ma’af ini ada konsekuensi buat Bapak juga.

2. Jawaban untuk Bu Hima

  • Istilah subjek, memang memberi konsentrasi ini pada subjek dan bagaimana subjek ini bekerja dan itu perlu diatur. Memang ini adalah sebuah proses panjang ,dan justru itu kami harus membentuk kerjasama terutama dengan APTARI, karena memang APTARI dan perguruan tinggi adalah pengampu utama dari perwujudan Undang-Undang ini yang tidak bisa dilepaskan makanya dulu sempat dibicarakan juga apakah FNPA (Forum Nasional Pendidikan Arsitektur), masih ada kan FNPA? Apakah nanti asosiasi ini akan diakui oleh pemerintah atau tidak? Karena kalau berhadapan dengan institusi kenegaraan, kita nggak punya yang lain. Pengampu yang paling jelas yang paling bisa kita lihat dari IAI adalah APTARI. Makanya mau gak mau Professor Gotty memang punya PR itu, harus diakui memang APTARI nya. Jadi mohon ma’af mudah-mudahan dengan secepat mungkin kami menyelesaikan PR ini.
  • Kemudian pembentukan Dewan Arsitek, saya setuju Bu, komposisi ini kita perlu bicarakan, saya tidak bilang anda 5 saya 5, tidak, bukan di forum ini dan ini adalah pengelolaan sebuah masalah, bisa jadi menjadi konsekuensi setelah peraturannya terwujud. Anda mohon sabar dan bisa jadi anda harus bersetuju dulu di dalam APTARI dulu, sementara kami sendiri masing saling berdiskusi.

3. Jawaban untuk Bu Hardiyati.

  • Arsitek dan kelembagaan, apakah harus menggunakan jasa arsitek, ini merupakan pertanyaan pelik yang panjang. Ini memerlukan beberapa skenario, karena bagaimanapun juga Indonesia adalah kepulauan yang besar. Di beberapa negara lainpun sangat mudah, karena sejarahnya begitu, misalnya di Inggris anda untuk menjadi konsultan professional harus magang 2 tahun atau di Belgia misalnya, di Belanda tidak. Di Belanda itu karena ada pakta dengan Ratu maka kelulusan arsitektur dari mana pun di Belanda tidak harus magang 2 tahun. Ia sudah langsung bisa sign IMB, karena dianggap lulusan para arsitek itu seperti tentara. Dia harus memiliki pengetahuan dasar merancang di sebuah negara lebih rendah dari permukaan air laut. Dia adalah elemen ketahanan negara. Jadi mereka itu sudah diakui dan istimewa sekali. Tapi kita di sini tidak, bahkan dikenal pun malah tidak. ”Arsitek? Apa itu? Kontraktor saya tahu, atau mandor saya tahu, atau apalah, tapi arsitek apa itu, beli gambar aja deh”, sakit hati kalau dibilang begitu. Tapi itulah keadaan negara kita.
  • Tapi bisa jadi skenarionya adalah penjadwalan, dalam 5 tahun pertama bangunan-bangunan publik saja yang diberlakukan, tapi belum bangunan rumah tinggal. Tapi bagaimanapun juga Undang-Undang Bangunan Gedung sudah menyatakan setiap bangunan dan bangunan konstruksi harus dilakukan oleh seorang ahli yang bersertifikat. Dan itu sudah hukum yang berlaku positif di Indonesia. Jadi kita harus mempunyai langkah-langkah yang realistis.
  • Akreditasi, Diknas, ini juga masalah yang lain, kembali ijin pengelolaan, ini adalah kaidah-kaidah normatif yang sudah berlaku. Bisa jadi Undang-Undang ini baru memang harus mempertimbangkan hal itu. Apakah BAN (Badan Akreditasi Nasional) masih menilai taraf lulus, lulusan arsitek S1 itu seperti apa, sih? Saya belum pernah dengar, tuh. Yang dinilai biasanya, kan, kelengkapan administratif, penyelenggaran, tapi apakah produk lulusannya diniliai? Saya tidak dalam keadaan menuntut, tapi itu hanya pertanyaan, ya, apakah benar BAN menilai lulusan dari Unpar misalnya. Apakah bisa seperti itu, kayaknya belum ada yang membandingkan lulusan Unpar dan ITB misalnya, tapi itu adalah sebuah PR yang mau tidak mau untuki mengembangkan MRA misalnya, untuk kesetaraan akreditasi perguruan tinggi. Jadi bukan hanya tentang penjadwalan, tadi juga kalau Ibu Hima bertanya kalau yang 4 tahun diakui apa nggak, itu bisa jadi di luar penjadwalan. Di Rakernas IAI terakhir , di jaman kepengurusan IAI di bawah Pak Budi Sukada di Serang itu sudah ditetapkan secara sepihak oleh IAI bahwa yang bisa mengikuti sertifikat IAI adalah (sejak tanggal itu) lulusan arsitek yang program pendidikannya 5 tahun. Walaupun bahkan sebetulnya IAI nya belum siap, tetapi yang sudah lulus sudah lama yang sebelum itu masih banyak yang belum proses sertifikasi. Sementara konsekuensi dari pernyataan itu adalah keharusan bekerja sama tentunya. Untuk memahami masalah-masalahnya, mengatur penjadwalannya, dan bagaimana mengelola. Bagaimanapun juga tanggung jawab kita bersama untuk memberikan kepastian kepada para lulusan untuk bisa menjadi arsitek praktisi. Saya kira kita perlu bersetuju bahwa IAI dan APTARI tidak dalam posisi mempersulit, tapi juga tidak menggampangkan. Itu adalah kenyataan yang rasanya sangat berbeda. Karena kita tidak mau merendahkan standar, tapi kita memantapkan standar. Dengan standar yang seluruh Indonesia saja terus terang mohon ma’af harus jujur kita berbeda standarnya. Bagaimanapun juga saya orang di luar APTARI tapi misalnya kalau kita ke Rakernas kita bertemu dengan standar yang sama sekali berbeda dan tuntutan itupun berbeda, tapi mau tidak mau di dalam satu negara kita harus bisa menyatakan pada pihak asing bahwa standar kami seperti ini. Dan kalau tidak mau diinjak-injak kita harus menyamakan standar dengan mereka.

4, Jawaban untuk Pak Kemas.

  • Bagaimana dengan implementasi peraturan profesi arsitek di daerah-daerah, tadi sudah saya katakan kurang lebih, rasanya payung hukumnya banyak hambatan jadi hambatan legalitas, hukum tertulis sampai ke tata cara pelaksanaan dan kontrol. IAI bagaimana pun juga terus berbenah diri, kami sedang mengajak teman-teman seluruh Indonesia untuk memperbaiki diri. Kareana banyak pihak yang tidak sadar bahwa gelombang besar sedang menggulung kita dan tidak dalam posisi yang bisa mundur lagi.
  • Otoritas Dewan Arsitek, tadi rasanya sudah ada, ada sebuah pasal khusus yang mengatur Dewan Arsitek. Jadi pasal khusus itu kita bandingkan dengan profesi dari negara lain, kalau di negara lain bahkan mengatur mengenai bagaimana dengan propertinya, jadi ini Dewan Arsitek akan mempunyai gedung akan mempunyai apa milik siapa asetnya dan segala macam, sebuah kepusingan yang rasanya tidak perlu kita tempuh

5. Jawaban untuk Pak Bambang Soemardiono

  • Rasanya misi saya jelas, pesannya adalah kami mengharapkan kesiapan APTARI secepat mungkin, sesiap mungkin karena pertanyaan itu akan datang sewaktu-waktu, materinya sebanyak ini harus dibahas dan dipelajari agar memang kita bisa menghadapi proses ini bersama-sama. Rasanya sudah terjawab semua. Terima kasih.

7. Dilanjutkan Ketua APTARI, mempersilahkan segenap para hadirin untuk Ishoma dan sebelumnya dipersilahkan untuk foto bersama.

Ditulis oleh ;

Reni Ambarwati, ST (Sekretaris APTARI)
reniambarwati@yahoo.com / reniambar@aptari.org